Selasa, 20 Mei 2014

Uniknya Budaya Suku Sasak Lombok

Nama suku sasak berasal dari kata sak-sak (dalam bahasa sasak) yang berarti sampan. Hal ini karena nenek moyang orang Lombok dahulu menggunakan sampan untuk mengitari Pulau Lombok dari arah barat menuju ke arah timur atau sekarang dikenal dengan Pelabuhan Lombok menggunakan sampan. Sumber lain yang menyebutkan makna kata sasak dari aspek filosofisnya adalah kitab Negara kertagama yang merupakan kitab yang memuat catatan kekuasaan Kerajaan Majapahit yang digubah oleh Mpu Prapanca. Dalam kitab ini disebutkan bahwa kata sasak berasal dari tradisi lisan masyarakat setempat yaitu lombok sasak mirah adi. Dalam tradisi lisan masyarakat setempat kata sasak berasal dari katasa-saq yang berarti satu atau kenyataan dan lombok berasal dari kata lomboq (bahasa kawi) yang berarti lurus atau jujur sedangkan  mirah berarti permata dan adi artinya baik atau yang baik. Maka lombok mirah sasak adi  berarti kejujuran adalah permata kenyataan yang baik atau utama.
Masyarakat Suku Sasak merupakan masyarakat yang masih memegang teguh tradisi dan mempertahankan kebudayaan sampai saat ini. Kini, Suku Sasak bukan hanya sebuah kelompok masyarakat tapi juga merupakan salah satu etnis yang melambangkan kekayaan tradisi yang dimiliki oleh Indonesia. Sebagian besar masyarakat Sasak memiliki mata pencaharian sebagai petani. Oleh karena itulah, atap berbentuk Lumbung Padi menjadi ciri khas suku Sasak dan masyarakat Lombok. Seperti halnya suku Minang Kabau yang memiliki ciri khas atap berbentuk kepala kerbau. 
rumah-adat-21
Rumah adat suku sasak (Foto: budayaindonesia)
Di luar musim panen, masyarakat suku Sasak menenun dengan berbagai motif dan harga. Karena itulah, di sepanjang gang desa tersebut, kita akan menemui penduduk setempat yang menjual berbagai tenun dan cinderamata. Tidak perlu khawatir dengan harganya, sebab kita masih dapat menawar semua barang-barang yang dijual di sana.
Budaya Unik Suku Sasak
1. Membersihkan Lantai dengan Kotoran kerbau
Sebagai desa wisata, masyarakat di sana masih mempertahankan rumah adat mereka. Rumah tersebut menggunakan atap dari rumput alang-alang yang bisa bertahan sekitar tujuh tahun hingga delapan tahun, dinding yang terbentuk dari anyaman, serta pintu kayu. Begitu pula dengan lantainya yang sebagian masih terbuat dari tanah liat. Agar tidak terkelupas, maka masyarakat setempat membersihkan lantai tersebut dengan menggunakan air yang dicampur dengan kotoran kerbau. Cara tersebut sudah ada sejak zaman dahulu mengingat awalnya suku Sasak menganut animisme. Mereka percaya membersihkan lantai dengan kotoran kerbau dapat membuat rumah lebih bersih dan suci. Saat ini, meski masyarakat sudah beragama Islam, cara tersebut masih dipertahankan.
“Dengan menggunakan campuran kotoran kerbau, lantai rumah akan menjadi lebih licin dan bersih. Sebab, dengan itu, tanah liatnya akan lebih padat dan keras, kalau tidak, dia akan terkelupas,” tuturnya.
2. Kawin Lari (Merariq)
Permalink gambar yang terpasang
Dedare Sasak / Perempuan Suku Sasak 
(Foto: all about lombok)
Budaya pernikahan tanpa lamaran alias kawin lari yang disebut merariq. Ini berbeda dengan masyarakat pada umumnya yang harus meminta lamaran kepada keluarga sebelum menikahi anak gadis orang. Jadi, ketika keduanya sudah sama-sama cocok, si pria akan membawa lari wanita untuk diinapkan di rumahnya. Setelah itu, keluarga pria akan memberi tahu kepala kampung untuk menyampaikan kepada orang tua si gadis perihal anaknya yang hilang diculik. Setelah semua berkumpul dan disepakati, barulah keduanya dinikahkan secara resmi. “Jadi budaya menikah di sini tanpa lamaran.”
3. Peresean

Peresean (Foto: all about lombok)
Peresean (Foto: yukpegi.com)
Peresean adalah salah satu seni tradisinal pertarungan antara dua orang petarung (pepadu) jawara asli lombok. Peresean merupakan simbol kejantanan suku sasak di Pulau Lombok. Para Petarung dilengkapi rotan sebagai pemukul disebut penjalin yang ujungnya dilapisi balutan aspal dan pecahan beling ditumbuk sangat halus dan Ende (perisai0 sebagai pelindung yang terbuat dari  kulit sapi atau kulit kerbau.
4. Bau Nyale
Karnaval Jelang Festival 'Bau Nyale' - foto (detikfoto)
Karnaval Jelang Festival 'Bau Nyale (Foto: rumahalir)

Permalink gambar yang terpasang
Arakan Putri Mandalika saat festival Bau Nyale
(Foto: all about lombok)
Bau nyale yang rutin dilakukan masyarakat Loteng setiap tahun, memiliki hubungan erat dengan legenda putri Mandalika yang menceburkan diri ke laut. Masyarakat Suku sasak, khususnya warga Loteng sangat percaya kalau nyale (cacing palolo) merupakan jelman putri Mandalika. Bau Nyale adalah sebuah peristiwa dan tradisi yang sangat melegenda dan mempunyai nilai sakral tinggi bagi suku Sasak. Tradisi ini diawali oleh kisah seorang Putri Raja Tonjang Baru yang sangat cantik yang dipanggil dengan Putri Mandalika. Karena kecantikannya itu para Putra Raja, memperebutkan untuk meminangnya. Jika salah satu Putra raja ditolak pinangannya maka akan menimbulkan peperangan. Sang Putri mengambil keputusan pada tanggal 20 bulan kesepuluh untuk menceburkan diri ke laut lepas. Dipercaya oleh masyarakat hingga kini bahwa Nyale adalah jelmaan dari Putri Mandalika. Nyale adalah sejenis binatang laut berkembang biak dengan bertelur, perkelaminan antara jantan dan betina. Upacara ini diadakan setahun sekali pada setiap akhir Februari atau Maret. Bagi masyarakat Sasak, Nyale dipergunakan untuk bermacam-macam keperluan seperti santapan (Emping Nyale), ditaburkan ke sawah untuk kesuburan padi, lauk pauk, obat kuat dan lainnya yang bersifat magis sesuai dengan keyakinan masing-masing.

Bau Nyale (Foto: Lombok-eccotour)
Cacing Palolo (foto: kompasberita)
(dari berbagai sumber)

1 komentar: